Oleh :
Syamsudhuha Firman Ridho
(Cerpen
Penggugah Semangat)
Kokok ayam membangunkan tidurku. Setelah mandi dan pakaian seragam rapi
melekat pada tubuh, bergegas aku ke halte Bus Trans Jogja yang mana Bus Trans
Jogjat tersebut lebih kecil dari Trans Jakarta. Shelternya tidak jauh
dari kos-ku. Aku putuskan menuntut ilmu di salah satu SMA yang ada di kota
Jogja setelah lulus SMP di kota Lamongan. Aku sendiri terlahir sebagai anak
kota Gresik yang terkenal dengan Semen-nya. Aku suka Jogja yang terkenal
sebagai kota pelajar dan budaya, yang pasti lingkungannya mendukung untuk
belajar. Kurogoh saku celana, kudapati uang dua lembar lima ribuan. Berarti
uang ini hanya cukup buat bayar transport PP (Pulang-Pergi) ke sekolah dan
makan sekali untuk hari ini.
Oh….my God!! Aku baru sadar kalau sudah tiga minggu ini, aku belum dapat transfer-an
dari orang tua. Saat ini aku harus menghemat uang saku. Padahal akhir-akhir ini
banyak sekali pengeluaranku, buat beli buku, mengerjakan tugas, makan, dan
kebutuhan lainnya. Seharusnya sudah minggu yang lalu uangku di-transfer,
tapi.... orang tuaku belum punya uang. Jadi aku harus sabar walapun
harus makan sekali dalam sehari bahkan mungkin tidak makan kalau uangku sudah
tidak ada sama sekali.
Orang tuaku hanya bisa menggantungkan hidup pada hasil sawah dan hasil
kerajinan tangan yang dikerjakan ibu. Menurutku tidak akan bisa produktif jika
sawah hanya digarap secara tradisional seperti kebanyakan dikerjakan para
petani yang berada di desa. Karena biaya penggarapan serta harga bibit dan
pupuk yang relatif tinggi bagi rakyat di pedesaan. Dan itu tidak sebanding
dengan harga jual hasil panen.
Apalagi hasil kerajinan tangan ibu harus menunggu konsumen yang membutuhkan karena sebagai orang desa ibu belum punya relasi untuk memasarkan hasil kerajinannya.
Apalagi hasil kerajinan tangan ibu harus menunggu konsumen yang membutuhkan karena sebagai orang desa ibu belum punya relasi untuk memasarkan hasil kerajinannya.
Sekitar setengah jam perjalanan menggunakan Bus Trans Jogja, aku tiba di
sekolahku tercinta setelah sebelumnya berjalan kaki kurang lebih sepuluh menit
dari Halte ke sekolah.
“Firman!” suara terdengar dari balik punggungku. Langkahku terhenti, sosok
bertubuh tinggi besar tengah berjalan menghampiriku. Dia adalah Fahmi. Sahabat
baikku yang selalu mengerti aku. Kita selalu berdua di sekolah baik itu di
kelas, kantin, dan perpus—menghabiskan waktu dengan membaca buku. Kita selalu
bersama ketika sedih dan bahagia. Waupun kita berbeda agama, dia tidak pernah
lupa mengingatkan aku untuk beribadah ketika waktu sholat tiba. Dia tidak
pernah membanding-bandingkan sebuah agama.
Aku tertegun ketika dia bilang hari ini juga akan pergi ke malang selama
tiga hari untuk menjenguk neneknya yang sedang sakit. Aku seakan tidak percaya,
baru pertama kalinya aku dalam keadaan susah, tapi teman baikku meninggalkanku
dalam kondisiku yang seperti ini. Aku harus minta bantuan siapa? Aku tak
mempunyai sanak saudara. Biasanya kalau aku tidak punya uang, aku pinjam dia
tapi sekarang dia mau pergi meninggalkanku. Lengkap sudah penderitaan yang aku
alami ini.
“Oh…ya! Hati-hati ya di sana” ucapku dengan berat hati.
Sebenarnya berat hati untuk aku melepasnya walau cuma tiga hari. Apalagi
dengan keadaanku yang seperti ini. Huh......!!!! Aku tidak boleh egois. Setiap
orang punya urusan masing-masing. Yang jelas aku harus pinjam uang teman kostku
agar aku bisa memenuhi kebutuhanku. Karena sahabat yang selalu membantu aku,
saat ini tertimpah musibah juga, jadi tidak etis kalau aku minta
bantuannya. Semoga Allah menolong kita berdua.
Tet…tet…tet…
Bel tanda masuk telah dimulai.
“Masuk yuk!” ajakku pada Fahmi, langkah kaki memasuki ruang kelas. Diikuti
langkah berat guru matematika. Di dalam kelas, aku masih merenungkan keadaanku.
Ku pejamkan mata sesaat agar keadaanku bisa normal, tanpa bayang-bayang akan
masalah yang aku hadapi. Namun resah terus menggelayut dalam pikiranku. Tanpa
kusadari sepotong kapur melayang mengenai kepalaku. ”Tukkk...Aduh!!!!!” Semua
murid memandang dan menertawakanku. Aku hanya bisa menahan sakit dan rasa
malu.
XXX
Malam sunyi,
suara serangga beralun mengiringi malamku. Aku meratapi nasibku. Adakah
penolong bagiku? Ku lantunkan ayat suci dalam pangkuan. Kedamaian menembus
hening hatiku. Kesejukan hati tercapai menghapus semua resah yang ada.
“Assalamu’alaikum ya akhi!” sapaan hangat dari bibir akhi Ridho. Teman
satu kos. Dilangkahkannya kaki memasuki kamarku yang belum sempat kubereskan,
banyak buku yang berserakan.
“Besok ada lomba adzan! Mau ikut?” tanya Ridho seraya memberiku selembar kertas
bertuliskan Lomba Adzan di baris paling atas. Senyum Ridho memberikan dukungan
padaku untuk mengikuti lomba tersebut.
“Aku juga ikut! Sapa tau itu rizki kita, lumayan buat masukan sebab ortuku
belum kirim.” tukas ridho
“kok bisa
sama??” Pikirku dalam hati.
MasyaAllah aku kira hanya aku yang mempunyai masalah seperti ini, ternyata
teman kosku juga mengalaminya. Tapi aku heran, mengapa dia tak sedikit pun
menunjukkan rasa keresahan atau kegelisahan menghadipi semua itu, tidak seperti
aku. Ternyata aku bukanlah orang yang sabar, bukan orang yang tegar dalam
menghadapi suatu masalah. Ya Allah tuntunlah hamba agar lebih sabar dan tabah.
xxx
Hari minggu yang cerah. Di sertai dengan sinar matahari yang menghangatkan
tubuhku.
“Ayo berangkat!” ajak ridho yang sudah rapi dengan baju koko dan celana hitam
berbahan kain, tidak ketinggalan pula peci hitam menutup rambut kritingnya.
“Kemana?” tanyaku yang masih belum sadar, padahal hari ini akan dilaksanakan
perlombaan adzan. Aku merasa seakan semua memori dalam otakku hilang ditelan
kebingungan serta kebimbangan oleh sebuah keadaan.
“Heh…!!!” Sekali lagi ridho mengagetkanku yang masih melamun. Aku orang yang
tidak bisa menggap sesuatu itu sepele, walau sekecil apapun masalah itu. Bagiku
masalah adalah perkara besar yang harus dipikirkan jalan keluarnya.
“Ayo ke tempat lomba!!”
Ya Allah aku baru sadar ternyata hari ini adalah hari dimana aku bisa meraih
hadiah yang mungkin bisa membantu keadaan yang sedang menimpaku. Itupun kalau
aku bisa meraih kemenangan dalam lomba itu.
Aku pun bergegas mandi dan berpakaian rapi. Bersama Ridho, kulangkahkan kaki
menuju tempat perlombaan yang tidak seberapa jauh dari kos kami. Hanya melewati
jalanan di perumahan Griya Nusa Indah dan menyeberangi jembatan di atas sungai
Gajah Wong untuk bisa sampai ke tempat perlombaan dengan cepat.
Hati pun mulai bimbang menanti saat-saat yang mendebarkan, saat dimana aku harus berperang, berjuang meraih sebuah kemenangan.
Hati pun mulai bimbang menanti saat-saat yang mendebarkan, saat dimana aku harus berperang, berjuang meraih sebuah kemenangan.
“Fir! Ayo sekarang giliranmu” lamunanku pecah.
Gimana aku bisa menang kalau pada diriku sendiri tak ada semangat atau pun
keyakinan untuk menang. Bismillah, man jadda wa jadda! Dengan berjuang
melawan rasa ketidak berdayaan, ku jalani juga perlombaan ini. Sekarang hanya
doa dan tawakal yang bisa aku perbuat, usaha serta perjuangan sudah aku
tunaikan. Ya Allah hanya atas ijin-Mu segala kan berlaku!! Hati penuh
pengharapan akan kemenangan atas perjuanganku, dan paling tidak kemenangan ini
juga dapat meringankan sedikit masalah yang ku alami.
Tiba juga waktu pengumuman, pemenang hanya diambil 3 teratas, yaitu juara
pertama, kedua dan ketiga. para pemenang dipanggil dari urutan
bawah,
“Juara ketiga lomba adzan adalah khoirul na’im dari kota timoho” suara MC
membahana disambut teriakan serta tepukan para penonton yang memadati tempat
perlombaan. “Juara kedua, kita sambut dengan tepukan yang meriah, Imam asyrofi
dari Sapen” tepukan yang lebih meriah mengiringi sang pemenang maju ke atas
pentas.
Namaku masih juga belum dipanggil, ini kesempatan terakhir namaku
dipanggil, dengan penuh harap ku panajatkan segalah doa demi sebuah kemengan.
Kalimat dzikir tak putus oleh bibirku, komat-kamit terucap kalimat
dzikir. “Dan tiba pada pemenang pertama”. “Deg..!!” jantungku kaget oleh suara
MC. “Kita sambut, ananda Rizal Mahri dari tugu.”
Lemas sekujur tubuhku, nama yang sangat kunantikan tak juga dipanggil sebagai
pemenang di perlombaan kali ini. Ya Allah, kenapa segala yang ku usahakan,
segala yang ku tempuh tak juga Engakau berikan hasil? Apa aku tak patut
memperoleh rahmat-Mu?? Aku sudah penuh peluh berjuang, aku sudah berusaha
meraih mimpi-mimpi yang ada. Tak sedikitpun ku dapatkan buah dari hasil
menanamku. Apa salah dan dosaku Tuhan……?? sehingga segalah usaha yang telah aku
lakukan, percuma begitu saja. Tak ada manfaat sama sekali bagiku ini.
Lebih menyakitkan lagi, aku tau dari obrolan penonton bahwa para pemenang tadi
adalah warga asli Jogja semua. Padahal dari perlombaan tadi, aku tidak lebih
jelek dari mereka yang mendapatkan gelar juara, apalagi suara ridho
begitu menyentuh hati saat dia mengumandangkan adzan tadi. Suara mereka semua
nggak ada apa-apanya tapi tetap saja ridho tidak menjadi pemenangnya. Apakah
benar bahwa nepotisme sudah merebak di seluruh negeri? Tak hanya di gedung
perwakilan saja akan tetapi sudah merebak ke segalah penjuru, bahkan yang
berhubungan dengan keagamaan. Seperti pada lomba adzan yang diadakan di radio
Suara Insani ini??
Bagaimana dengan aku? Apa aku harus mencuri untuk memenuhi kebutuhanku?? Asstagfirullah
hal ‘adhim! Ya Allah jauhkan aku dari perbuatan yang terkutuk, hindarkan
aku dari api neraka-Mu. Aku harapkan surga-Mu tapi apa aku pantas kalau aku
sendiri mau berputus asa begini?
Ku langkahkan kakiku meninggalkan tempat perlombaan yang tak adil bagiku. Ridho
masih dengan ketabahan dan kesabaranya selalu membesarkan hatiku. Dia begitu
tawakal menerima semua yang dihadapinya, tak ada rasa di-dholimi dalam
perlombaan tadi. Dia hanya berkata “Itu semua belum rezeki kita, masih banyak
jalan untuk memperoleh rezeki-Nya”. Begitu keyakinan ridho bahwa manusia
membawa rizekinya masing-masing. Aku malu dengan ketabahan ridho walaupun dia
bukan berasal dari pondok pesantren seperti aku tapi keagamaanya begitu kental
dan melekat. Ya Allah ampunilah dosaku.
xxx
Hari senin pagi yang cerah, sinar mentari menerobos celah-celah jendela. Dari
balik pintu kamar kusambut pagi dengan muram muka. Kubuka pintu pelan-pelan.
Aku tersontak kaget. Di hadapanku berdiri sosok tinggi kekar berbaju agak
kusut. Aku pikir pak kost yang mau menagih uang kost yang sudah nunggak
1 bulan. Di atas saku bajunya tertera tulisan “Kantor Pos”. Dengan senyum
terpaksa ku sambut pria yang aku tau bernama Muhlis—dari kartu nama yang
terpasang di depan dadanya. Sepucuk surat kuterima setelah mengisi nama dan
tanda tangan di secarik kertas resi darinya. Tukang pos berlalu meninggalkan
kamar kostku.
Hati-hati ku buka amplop, aku takut jika surat itu adalah surat peringatan
dari sekolah karena SPP-ku nunggak 1 bulan dan bulan ini adalah bulan
ke-2 aku harus bayar SPP. Dalam peraturan sekolah nggak ada kata SPP telat
bayar apalagi ngutang, tapi karena aku dikenal baik sebagai murid yang
selalu membawa nama baik sekolah, sehingga aku diberikan dispensasi untuk bulan
kemaren dalam membayar SPP.
Pelan-pelan kutarik kertas surat dengan kop surat bertuliskan majalah
Sabilillah—majalah ternama di kota Jogja. aku melonjak kegirangan, mengangkat
tangan dan menariknya ke dada seperti ronaldo yang baru saja mencetak gol di
menit-menit terakhir pertandingan. Spontan aku bersujud syukur memanjatkan
rasa syukur yang teramat atas anugerah ini. Aku lari kekamar sebelah memberikan
kabar pada Ridho. Aku serahkan dengan penuh bangga dan syukur surat dari
majalah Sabilillah padanya. Dibacanya dengan sungguh-sungguh dan teliti tulisan
“Selamat kepada saudara Firmansyah atas diterbitkannya naskah cerita ‘sebening
embun pagi’ pada Rubrik cerbung—cerita bersambung.”
Ridho dengan bangga menyalamiku. Aku senang sekali, usahaku membuahkan hasil
juga. Aku sebenarnya sudah tidak memikirkan akan cerbung yang pernah aku kirim.
Aku juga sudah beranggapan bahwa cerita tersebut sudah dibuang di tempat sampah
oleh penerbit karena lebih dari 4 bulan yang lalu aku mengirimnya. Aku pernah
dengar bahwa naskah yang tidak ada kabar berita selama 3 bulan dari hari mengirim
sudah dinyatakan hangus atau tidak dapat dimuat.
Rasa syukur tak putus-putus aku panjatkan, bukan hanya karena naskahku dimuat
tetapi dengan dimuatnya naskah ku berarti aku juga mendapatkan honor yang bisa
aku gunakan untuk membayar SPP dan kost. Di tengah panjatan rasa syukur
bahagia, ringtone handphone nokia 3100-ku berdering, Tulisan “Bunda Tersayank”
terterah jelas dilayar. Kubuka pembicaraan setelah menekan tombol yang
bergambar telepon berwarna hijau dengan ucapan salam. Terdengar suara khas ibu
yang tak pernah bisa aku lupakan. "Ibu sudah kirim uang. Alhamdulillah
baru saja dapat rezeki, ada pembeli dari kota yang memborong hasil kerajinan
yang ibu buat."
Tetesan air mataku tak terbendung lagi, rasa haru dan syukur atas limpahan
rezeki yang dianugerahkan Tuhan saat ini begitu terasa. Tidak hanya satu tapi
anugerah yang aku peroleh dua sekaligus. Aku baru sadar dengan kata-kata yang
selalu aku dapatkan di pesan message dari teman-temanku bahwa: “Tuhan
memberikan sesuatu pada waktunya dengan begitu indah, melebihi keindahan yang
hanya bisa kita bayangkan sebelumnya, jika kita mau bersabar dan
tawakal.” Alhamdulillah….. Ya Allah.
Koreksi dikit ya!! maaf sebelunya..
BalasHapus1. dalam penulisan judul ada kesalahan dikit, yg benar "rencana dibalik Rencana"; rencana pertama dg "r" kecil krn pertama itu menggambarkan rencana manusia, dan rencana kedua "R" besar karena ending paling indah adalah rencana Allah SWT.
2. sepertinya jabatan saya bukan wakil ketua, tp koordinator salah satu divisi yang ada di akeroluh.
semoga makin banyak karya anak-anak akeroluh lainnya yg menyusul.
-thanks udah dipostingin dalam blog akeroluh site-
oke mas bro.. jangan lupa lewat fb saya ya di koreksi nya... trus berkarya sobat... sangat bagus karyanya..
BalasHapus