Minggu, 30 Oktober 2011

Budaya Korupsi (Opini)


Oleh :  Imam Syafi'i
Literatur dan Pengembangann Akeroluh Komunitas 
(Kedaulatan Rakyat 2011)

Ketua Dewan Pengurus Transparency International - Indonesia Erry Riyana Hardjapamekas (2003) menuturkan bahwa  label korupsi tidak semata-mata diperuntukkan bagi pegawai negeri. TNI, Polri, pegawai BUMN/BUMD atau anggota parlemen pusat dan daerah, atau pejabat dan pelaku fungsi yudikatif, atau konglomerat dan badan usaha swasta namun juga dapat ditempelkan pada semua lembaga dan anggota masyarakat dengan pekerjaan tertentu yang secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan kepentingan publik, misalnya pengacara, akuntan publik, notaris dan lain-lain.
Itu sebabnya muncul paham bahwa korupsi di indonesia sudah menjadi budaya, sehingga dengan kita mendalilkan bahwa “korupsi itu biasa” karena terjadi nyaris di semua sector dan lapisan masyarakat.
Empat puluh lima tahun gejala ini sebenarnya telah dicurigai sebagai penyakit yang mulai berjangkit dan harus segera ditangkal. Secara yuridis istilah ini muncul dalam bentuk peraturan penguasa militer Angkatan Darat dan Laut RI Nomor PRT/PM/06/1957 sebagai upaya awal karena KUHP dianggap tidak mampu menanggulangi meluasnya korupsi pada masa itu yang juga telah dianggap sebagai penyakit masyarakat yang menggerogoti kesejahteraan rakyat, menghambat pelaksanaan pembangunan, merugikan perekonomian, dan mengakibatkan moral.
Empat belas tahun kemudian Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana  Korupsi, yang justru sama sekali tidak menghambat penularan penyakit masyarakat itu, bahkan sebaliknya semakin mengembang secara luas dan parah. Jadi, sebenarnya telah terjadi proses pembiaran perluasan penularan penyakit korupsi selama 45 terakhir!
Lihat saja, belum lama ini mantan bendahara
umum PD Nazarudin yang di copot dari jabatannya dugaan keterlibatan dalam kasus suap pembangunan wisma Atlet SEA Games XXVI. Atas perlakuannya  yang  banyak merugikan pembangunan tersebut dan rakyat kecil ini menjadikan negara semakin miskin, sudah miskin dimiskinkan pula oleh ulah para koruptor yang haus akan tahta. Maka tidak heran jika banyak orang yang bilang bahwa di negara ini mempunyai budaya baru, budaya yang harus di lestarikan (korupsi). Terlepas dari itu semua tentunya budaya (korupsi) semacam ini  tidak bisa didiamkan begitu saja, meskipun sudah ada tindakan dari pemerintah, saya rasa kurang sekali dalam menyelesaikan masalah ini.berat memang untuk memberantas masalah tersebut. Pemikir, keahlian dan sumber daya sudah dikerahkan. Bagian besar sepakat, waktu bicara sudah berlalu. Sekarang saatnya untuk bertindak. Namun, memberantas korupsi bukanlah tujuan akhir. Memberantas korupsi bukan jihad untuk melenyapkan semua kejahatan di dunia.
 Memberantas korupsi adalah perjuangan melawan perilaku culas dalam pemerintah, dan merupakan bagian dari tujuan yang lebih luas, yakni menciptakan pemerintah yang lebih efektif, adil dan efisien. Para pejuang anti korupsi tidak membatasi diri hanya pada memberantas korupsi semata-mata; mereka juga berupaya mengikis dampak negatif korupsi pada pembangunan dan pada masyarakat secara keseluruhan. Dengan cara ini semua upaya dapat membantu meningkatkan kesejahteraan kaum miskin dan meninggkatkan rasa hormat semua pihak pada hak asasi manusia bagi semua. Para pembaharu anti korupsi menyadari bahwa korupsi tidak akan pernah dapat diberantas sampai tidak berbekas lagi. Dalam kaitan dengan situasi nyata sehari-hari, akan terlalu mahal mencoba memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Karena itu, tujuan gerakan anti korupsi bukanlah mewujudkan pemerintah yang jujur tanpa cacat melainkan mengusahakan agar pemerintah lebih jujur, dan dengan demikian lebih efisien dan lebih adil. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar